Perubahan lahan ke perumahan
1
.1 Latar Belakang
1
.1 Latar Belakang
Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar.
Jumlah penduduk ini terus bertambah setiap tahunnya. Sebagai gambaran,
tingkat kepadatan penduduk Indonesia pada tahun 2000 adalah 108 jiwa per
kilometer persegi, jumlah ini meningkat jadi 116 orang per kilometer
persegi pada tahun 2005 (Data BPS, 2005)[1]
Pertumbuhan
penduduk yang begitu cepat, serta aktivitas pembangunan dalam berbagai
bidang tentu saja akan menyebabkan ikut meningkatnya permintaan akan
lahan. Permintaan akan lahan tersebut terus bertambah, sedangkan kita
tahu bahwa lahan yang tersedia jumlahnya terbatas. Hal inilah yang
mendorong terjadinya konversi lahan pertanian ke non-pertanian.
Konversi
lahan dapat diartikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh
kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi
fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan
dan potensi lahan itu sendiri (Utomo dkk, 1992).
Konversi
lahan merupakan konsekuensi logis dari peningkatan aktivitas dan jumlah
penduduk serta proses pembangunan lainnya. Konversi lahan pada dasarnya
merupakan hal yang wajar terjadi, namun pada kenyataannya konversi
lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan pertanian yang masih
produktif.
Lahan pertanian
dapat memberikan manfaat baik dari segi ekonomi, sosial maupun
lingkungan. Oleh karena itu, semakin sempitnya lahan pertanian akibat
konversi akan mempengaruhi segi ekonomi, sosial dan lingkungan tersebut.
Jika fenomena konversi lahan pertanian ke non-pertanian terus terjadi
secara tak terkendali, maka hal ini akan menjadi ancaman tidak hanya
bagi petani dan lingkungan, tetapi hal ini bisa menjadi masalah
nasional.
Kelurahan
Mulyaharja yang terletak di Kecamatan Bogor Selatan merupakan wilayah
yang masih memiliki banyak lahan pertanian yang produktif. Pemandangan
pertama yang terlihat saat memasuki wilayah Mulyaharja adalah puluhan
petak sawah yang terhampar luas di samping kiri dan kanan. Belakangan
ini luasan lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja semakin berkurang.
Hal ini disebabkan oleh semakin maraknya fenomena konversi lahan di
wilayah tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis mengenai dampak yang ditimbulkan dari adanya konversi lahan pertanian bagi taraf hidup petani.
1.2 Perumusan Masalah
Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini antara lain adalah:
1. Bagaimana kondisi taraf hidup petani sebelum terjadinya konversi lahan?
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengkonversi lahannya?
3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari adanya konversi lahan bagi taraf hidup petani?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui kondisi taraf hidup petani sebelum terjadinya konversi lahan.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengkonversi lahannya.
3. Menganalisis dampak yang ditimbulkan dari adanya konversi lahan bagi taraf hidup petani.
1.4 Kegunaan Penelitian
Bagi
peneliti, penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam mengaplikasikan
ilmu yang didapat selama masa perkuliahan. Penelitian ini juga
diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi dalam penelitian
berikutnya.
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Konsep Agraria
Pengertian agraria menurut UUPA 1960 (UU No.5 Tahun 1960) dalam
Sitorus (2002) adalah seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik
Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang
angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
Sitorus (2002) menyatakan bahwa jenis-jenis sumber agraria meliputi:
1. Tanah atau permukaan bumi, yang merupakan modal alami utama dari pertanian dan peternakan.
2. Perairan, yang merupakan modal alami dalam kegiatan perikanan.
3. Hutan, merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas perhutanan.
4. Bahan tambang, yang terkandung di “tubuh bumi”
5. Udara, yang termasuk juga materi “udara” sendiri.
Sitorus (2002) mengemukakan bahwa konsep agraria merujuk
pada berbagai hubungan antara manusia dengan sumber-sumber agraria
serta hubungan antar manusia dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan
sumber-sumber agraria. Sitorus (2002) juga mengemukakan bahwa subjek
agraria dapat dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas, pemerintah dan
swasta. Masing-masing subjek agraria tersebut memiliki hubungan yang
dapat dilihat melalui gambar berikut:
Tanah atau lahan merupakan
salah satu sumber daya yang penting dalam kehidupan manusia karena
setiap aktivitas manusia selalu terkait dengan tanah. Tanah merupakan
tanah (sekumpulan tubuh alamiah, mempunyai kedalaman lebar yang
ciri-cirinya mungkin secara langsung berkaitan dengan vegetasi dan
pertanian sekarang) ditambah ciri-ciri fisik lain seperti penyediaan air
dan tumbuhan penutup yang dijumpai (Soepardi, 1983 dalam Akbar, 2008).
Utomo
(1992) menyatakan bahwa lahan sebagai modal alami yang melandasi
kegiatan kehidupan dan penghidupan, memiliki dua fungsi dasar, yakni:
1. Fungsi
kegiatan budaya; suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai
penggunaan, seperti pemukiman, baik sebagai kawasan perkotaan maupun
pedesaan, perkebunan hutan produksi dan lain-lain.
2. Fungsi
lindung; kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utamanya untuk
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada, yang mencakup
sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan nilai sejarah serta budaya
bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya.
Sihaloho (2004) membedakan penggunaan tanah ke dalam tiga kategori, yaitu:
1. Masyarakat
yang memiliki tanah luas dan menggarapkan tanahnya kepada orang lain;
pemilik tanah menerapkan sistem sewa atau bagi hasil.
2. Pemilik
tanah sempit yang melakukan pekerjaan usaha tani dengan tenaga kerja
keluarga, sehingga tidak memanfaatkan tenaga kerja buruh tani.
3. Pemilik
tanah yang melakukan usaha tani sendiri tetapi banyak memanfaatkan
tenaga kerja buruh tani, baik petani bertanah sempit maupun bertanah
luas.
2.1.3 Konversi Lahan
Utomo
dkk (1992) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut
sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh
kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi
fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan
dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian
perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh
faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi
kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya
tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Sihaloho (2004) membagi konversi lahan kedalam tujuh pola atau tipologi, antara lain:
1. Konversi
gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan
yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi.
2. Konversi
sistematik berpola ‘enclave’; dikarenakan lahan kurang produktif,
sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai
tambah.
3. Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion);
lebih lanjut disebut konversi adaptasi demografi, dimana dengan
meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi
kebutuhan tempat tinggal.
4. Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan.
5. Konversi
tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah hidup
yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung.
6. Konversi
adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan keinginan
untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil
pertanian.
7. Konversi
multi bentuk atau tanpa bentuk; konversi dipengaruhi oleh berbagai
faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah,
koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam
konversi demografi.
Sumaryanto (1994) dalam Furi
(2007) memaparkan bahwa jika suatu lokasi terjadi konversi lahan
pertanian, segera lahan-lahan di sekitarnya akan terkonversi dan
sifatnya cenderung progresif.
Irawan (2005) dalam
Akbar (2008) mengemukakan bahwa konversi tanah lebih besar terjadi pada
tanah sawah dibandingkan dengan tanah kering karena dipengaruhi oleh
tiga faktor, yaitu pertama, pembangunan kegiatan non pertanian
seperti kompleks perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri
lebih mudah dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan
dengan tanah kering. Kedua, akibat pembangunan masa lalu yang
terfokus pada upaya peningkatan produk padi maka infrastruktur ekonomi
lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering. Ketiga, daerah
persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah
perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah kering
yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan.
Konversi
lahan biasanya terkait dengan proses perkembangan wilayah, bahkan dapat
dikatakan bahwa konversi lahan merupakan konsekuensi dari perkembangan
wilayah. Sebagian besar konversi lahan yang terjadi, menunjukkan adanya
ketimpangan dalam penguasaan lahan yang lebih didominasi oleh pihak
kapitalis dengan mengantongi izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan
oleh pemerintah. Di Indonesia, terdapat tiga macam ketimpangan
(Cristo-doulou sebagaimana dikutip Wiradi, 2000), yakni:
1. Ketimpangan dalam hal struktur “pemilikan” dan “penguasaan” tanah
Kepentingan/keberpihakan
Pemerintah. Peran pemerintah mendominasi dalam menentukan kebijakan
peruntukan penggunaan lahan dan mendukung pihak bermodal dan penguasaan
lahan, sedangkan peran masyarakat rendah.
2. Ketimpangan dalam hal peruntukan tanah
Terdapatnya
indikasi kesenjangan, yakni tanah yang seharusnya diperuntukan bagi
pertanian rakyat digusur, sedangkan sektor non pertanian semakin
bertambah luas.
3. Ketimpangan atau Incompability dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria
Terjadi
perbedaan persepsi dan konsepsi mengenai bermacam hak atas tanah, yakni
pemeritah dan pihak swasta yang menggunakan hukum positif dengan
penduduk yang berpegang pada hokum normatif/hukum adat.
2.1.4 Faktor Penyebab
Proses terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian disebabkan oleh beberapa faktor. Kustiwan (1997) dalam Supriyadi (2004) menyatakan bahwa setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:
1. Faktor
Eksternal. Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika
pertumbuhan perkotaan (fisik maupun spasial), demografi maupun ekonomi.
2. Faktor
Internal. Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi
sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.
3. Faktor
Kebijakan. Yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat
maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian.
Pasandaran
(2006) menjelaskan paling tidak ada tiga faktor, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama yang merupakan determinan konversi lahan sawah,
yaitu:
1. Kelangkaan sumberdaya lahan dan air
2. Dinamika pembangunan
3. Peningkatan jumlah penduduk
Pakpahan, et.al (1993) dalam
Munir (2008) membagi faktor yang mempengaruhi konversi dalam kaitannya
dengan petani, yakni faktor tidak langsung dan faktor langsung. Faktor
tidak langsung antara lain perubahan struktur ekonomi, petumbuhan
penduduk, arus urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tata
ruang. Sedangkan faktor langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan
pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk
industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan sawah.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani, sebagaimana dikemukakan oleh Rusastra (1994) dalam
Munir (2008) adalah sebagai pilihan alokasi sumber daya melalui
transaksi yang dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi petani seperti
tingkat pendidikan, pendapatan dan kemampuan ekonomi secara keseluruhan
serta pajak tanah, harga tanah dan lokasi tanah. Sehingga diperlukan
kontrol agar sesuai dengan Rencana Tata Ruang.
Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Munir (2008) di Desa Candimulyo,
Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah, dapat
diketahui bahwa ada faktor-faktor yang berhubungan dengan konversi
lahan. Faktor- faktor tersebut meliputi faktor internal petani dan
faktor eksternal. Faktor internal adalah karakteristik petani yang
mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, luas
lahan yang dimiliki, dan tingkat ketergantungan terhadap lahan.
Sedangkan faktor eksternal mencakup pengaruh tetangga, investor, dan
kebijakan pemerintah daerah dalam hal pengembangan pertanian.
2.1.5 Konsep Petani
Wolf (1985) dalam
munir (2008) mendefinisikan petani sebagai pencocok tanam pedesaan yang
surplus produksinya dipindahkan ke kelompok penguasa melalui mekanisme
sistematis seperti upeti, pajak, atau pasar bebas. Bahari (2002) dalam
Munir (2008) menyatakan bahwa secara umum ada tiga ciri utama yang
melekat pada petani pedesaan, yaitu kepemilikan lahan secara de facto, subordinasi legal, dan kekhususan kultural.
Menurut Shanin (1971) seperti yang dikutip oleh Subali (2005),[2] terdapat empat karakteristik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga. Kedua,
selaku petani mereka menggantungkan hidup mereka kepada lahan. Bagi
petani, lahan pertanian adalah segalanya yakni sebagai sumber yang
diandalkan untuk menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang
bernilai tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga,
petani memiliki budaya yang spesifik yang menekankan pemeliharaan
tradisi dan konformitas serta solidaritas sosial mereka kental. Keempat, cenderung
sebagai pihak selalu kalah (tertindas) namun tidak mudah ditaklukkan
oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal yang mendominasi
mereka.
2.1.6 Taraf Hidup dan Kesejahteraan
Kata “taraf” dalam kamus besar bahasa Indonesia (1997) berarti mutu atau kualitas. Jadi taraf hidup dapat diartikan sebagai suatu mutu hidup atau kualitas hidup yang dimiliki oleh seseorang atau suatu masyarakat.
Sawidack (1985) dalam
Munir (2008) menyatakan bahwa kesejahteraan merupakan kepuasan yang
diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima,
namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang
bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh
dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut.
BPS (2008) dalam Munir
(2008) memberikan gambaran tentang cara yang lebih baik untuk mengukur
kesejahteraan dalam sebuah rumah tangga mengingat sulitnya memperoleh
data yang akurat. Cara yang dimaksud adalah dengan menghitung pola
konsumsi rumah tangga.
Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan dibahas oleh BPS (1995) dalam
Munir (2008) antara lain adalah: kependudukan, kesehatan dan gizi,
pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan
lingkungan, sosial dan budaya
Kesejahteraan
pedesaan menurut Mosher (1974) dalam Furi (2007) berarti tingkat
kepuasaan bagi penduduk pedesaan dan tidak mencakup sumbangan-sumbangan
yang menyenangkan bagi masyarakat pedesaan dari pihak luar, baik
pemerintah maupun swasta. Empat aspek kesejaheraan pedesaan yakni:
1. Tingkat kehidupan fisik keluarga pedesaan, yang sangat bergantung pada penghasilan keluarga dan berarti bergantung pada perkembangan pertanian.
2. Kesejahteraan
dan kegiatan-kegiatan bersama di desa, yaitu ketentraman dan kegiatan
kelompok yang meliputi hukum dan ketertiban, pendidikan, kesehatan, dan
kegiatan kelompok informal.
3. Kesempatan untuk ikut serta mengambil bagian dalam peristiwa-peristiwa kekeluargaan dan kemasyarakatan.
4. Perarturan-perarturan dan Undang-Undang yang mengurus tentang hak-hak manusia atas penggunaan tanah.
Yosep (1996) dalam Furi (2007) mengemukakan dua pendekatan kesejahteraan, yakni:
1. Pendekatan
makro, kesejahteraan dengan indikator-indikator yang telah disepakati
secara alamiah, sehingga ukuran kesehateraan masyarakat berdasarkan
data-data epiris suatu masyarakat.
2. Pendekatan
mikro, didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan psikologi individu
secara pribadi untuk melihat apa yang dianggapnya sejahtera.
2.2 Kerangka Pemikiran
Tanah merupakan sumberdaya strategis yang memiliki nilai secara ekonomis. Saat ini, jumlah luasan tanah
pertanian tiap tahunnya terus mengalami pengurangan. Berkurangnya
jumlah lahan pertanian ini merupakan akibat dari adanya peningkatan
jumlah dan aktivitas penduduk serta aktivitas pembangunan. Hal tersebut
mengakibatkan permintaan akan lahan pun meningkat. Pada akhirnya,
terjadilah konversi lahan pertanian ke non pertanian seperti perumahan,
industri, dan lain sebagainya untuk memenuhi permintaan yang ada.
Konversi lahan yang terjadi tidak lepas dari kepentingan berbagai pihak
seperti pemerintah, swasta dan komunitas (masyarakat).
Merujuk
pada penelitian-penelitian terdahulu, maka dalam penelitian ini diduga
bahwa ada faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam
mengkonversi lahan pertaniannya. Faktor-faktor tersebut adalah faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi
tingkat pendapatan rumah tangga petani, jumlah tanggungan anggota
keluarga, tingkat ketergantungan pada tanah, luas lahan yang dimiliki,
umur petani, tingkat pendidikan. Sedangkan faktor eksternal dapat
meliputi kebijakan pemerintah, pengaruh pihak swasta (investor), serta
jumlah rumah tangga petani yang mengkonversi lahan pertanian di daerah
tersebut.
Setelah
melihat keterkaitan antara kedua faktor tersebut dengan keputusan
petani untuk mengkonversi lahan, maka akan dilihat pula pengaruh
konversi lahan pertanian bagi taraf hidup petani. Diduga
bahwa konversi lahan memiliki hubungan dengan taraf hidup petani. Dalam
hal ini taraf hidup akan diukur melalui indikator yang meliputi
pendapatan, perumahan, pendidikan, kesehatan, kepemilikan aset.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis Umum
1. Diduga bahwa ada hubungan antara faktor internal dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.
2. Diduga ada hubungan antara faktor eksternal dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.
3. Diduga bahwa Konversi lahan pertanian akan berpengaruh terhadap taraf hidup petani
Hipotesis Khusus
1. Diduga ada hubungan antara tingkat pendapatan rumah tangga petani dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.
2. Diduga ada hubungan antara jumlah tanggungan anggota keluarga petani dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.
3. Diduga ada hubungan antara tingkat ketergantungan terhadap lahan dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.
4. Diduga ada hubungan antara luas lahan dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.
5. Diduga ada hubungan antara usia petani dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.
6. Diduga ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.
7. Diduga ada hubungan antara jumlah tetangga yang mengkonversi lahan dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.
8. Diduga ada hubungan antara pengaruh swasta dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.
9. Diduga ada hubungan antara kebijakan pemerintah dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.
10. Diduga konversi lahan akan mempengaruhi pendapatan rumah tangga yang merupakan salah satu indikator taraf hidup.
11. Diduga konversi lahan akan mempengaruhi pendidikan rumah tangga yang merupakan salah satu indikator taraf hidup.
12. Diduga konversi lahan akan mempengaruhi perumahan (tempat tinggal) yang merupakan salah satu indikator taraf hidup.
13. Diduga konversi lahan akan mempengaruhi kesehatan keluarga yang merupakan salah satu indikator taraf hidup.
14. Diduga konversi lahan akan mempengaruhi kepemilikan aset yang merupakan salah satu indikator taraf hidup.
Definisi Operasional
1. Tingkat pendapatan rumah tangga adalah total pendapatan rata-rata responden yang diperoleh selama satu bulan.
Pengukuran:
1. Tinggi: > Rp. 2.000.000
2. Sedang: Rp 1000.000-Rp 2.000.000
3. Rendah: < Rp 1000.000
2. Jumlah
tanggungan keluarga adalah banyaknya angoota keluarga yang sampai saat
ini masih menjadi tanggungan responden dalam pemenuhan kebutuhan hidup.
Pengukuran:
1. Sedikit: ≤ 4 orang
2. Banyak: > 4 orang
3. Tingkat
ketergantungan pada lahan adalah sejauh mana lahan dianggap penting
dalam memenuhi kebutuhan responden yang diukur berdasarkan persentase
pendapatan pertanian dari keseluruhan total pendapatan rumah tangga
responden.
Pengukuran:
1. Rendah: <0, 75 persen pendapatan tumah tangga
2. Tinggi: ≥0,75 persen pendapatan rumah tangga
4. Luas lahan yang dimiliki adalah ukuran lahan yang dimiliki oleh responden dalam satuan hektar.
Pengukuran:
1. Sempit : <0,25 hektar
2. Sedang : 0,25-0,49 hektar
3. Luas : ≥0,5 hektar
5. Usia adalah rentang waktu dari lahir hingga sekarang yang dimiliki oleh responden (dinyatakan dalam tahun).
Pengukuran:
1. 30-40 tahun
2. 41-50 tahun
3. > 50 tahun
6. Tingkat pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang pernah dijalani oleh responden.
Pengukuran:
1. Tidak sekolah
2. Tamat SD/sederajat
3. Tamat SMP/sederajat
4. Tamat SMA/sederajat
7. Jumlah
rumah tangga petani yang mengkonversi lahan adalah banyaknya petani di
sekitar wilayah tempat tinggal responden yang ikut mengkonversi lahan
pertaniannya.
Pengukuran:
1. Rendah: ≤ 5 orang
2. Tinggi: > 5 orang
8. Pengaruh
swasta (investor) adalah pengaruh yang diberikan oleh pihak yang
berkepentingan dengan lahan tersebut untuk mempengaruhi petani agar mau
mengkonversi lahan pertaniannya.
Pengukuran:
1. Ada pengaruh: pihak swasta mendatangi responden untuk membujuk agar mau menjual lahannya (melakukan negosiasi).
2. Tidak ada pengaruh: tidak ada pihak swasta yang mendatangi responden.
9. Kebijakan pemerintah adalah ada atau tidaknya dukungan pemerintah daerah setempat untuk mempertahankan lahan pertaniannya.
Pengukuran:
1. Ada dukungan: pemerintah memberikan bantuan pada responden dalam upaya pengembangan pertanian.
2. Tidak ada dukungan: pemerintah tidak memberikan bantuan kepada responden dalam upaya pengembangan pertanian.
10. Taraf hidup adalah mutu hidup yang dimiliki oleh seseorang atau suatu masyarakat.
11. Kondisi perumahan (tempat tinggal) adalah keadaan fisik rumah yang ditempati oleh responden.
Pengukuran:
1. Layak : luas bangunan memadai dan fisik bangunan permanen
2. Tidak layak : luas bangunan tidak memadai dan fisik rumah tidak permanen
12. Pendidikan keluarga adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak.
Pengukuran:
1. Rendah: tidak bersekolah
2. Sedang : SMP
3. Tinggi : ≥ SMA
13. Kesehatan adalah kondisi/ keadaan jasmani rumah tangga responden.
Pengukuran:
1.Tinggi : kondisi kesehatan baik, tidak banyak menderita penyakit.
2. Rendah : kondisi kesehatan buruk, banyak menderita penyakit.
15. Kepemilikan aset adalah jumlah barang berharga yang dimiliki rumah tangga petani
Pengukuran:
1. Tinggi : memiliki rumah, tanah, kendaraan, dan lebih dari lima jenis barang elektronik.
2. Sedang: memiliki rumah, kendaraan, dan barang elektronik sejumlah lima
3. Rendah: memiliki rumah/sewa/kontrak dan memiliki kurang dari lima jenis barang elektronik.
BAB III
PENDEKATAN LAPANGAN
3.1 Metode Penelitian
Penelitian
ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Dalam pendekatan
kuantitatif, penelitian ini menggunakan metode penelitian survei.
Metode penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sample dari
satu populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data
yang pokok (Singarimbun, 1989). Sedangkan pendekatan kualitatif
dilakukan dengan metode studi kasus.
Data-data
kuantitatif diperoleh dari hasil kuesioner sebagai instrument utama.
Sedangkan data kualitatif diperoleh dari observasi lapang secara
langsung dan wawancara mendalam. Wawancara mendalam dilakukan kepada
informan untuk mendapatkan informasi lebih banyak. Informan yang akan
diwawancarai adalah pihak-pihak yang dianggap mengetahui keadaan
sekeliling seperti aparat desa, tokoh masyarakat dan masyarakat
setempat. Dalam melakukan wawancara mendalam, peneliti dibekali dengan
panduan pertanyaan.
Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari pengisian kuesioner dan
hasil wawancara mendalam. Sedangkan data sekunder diperoleh dari
dokumen-dokumen kantor Kelurahan Mulyaharja. Sumber pustaka lain yang
dijadikan data sekunder dalam penelitian ini adalah berupa buku, artikel
dari internet, skripsi, thesis, serta makalah yang berkaitan dengan
topik penelitian.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian
ini akan dilaksanakan di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan,
Kabupaten Bogor. Kelurahan Mulyaharja merupakan daerah yang masih
banyak memiliki lahan pertanian (sawah). Lahan pertanian yang ada di
Kelurahan Mulyaharja ini merupakan lahan pertanian yang
masih produktif. wilayah ini kemudian mengalami konversi lahan akibat
adanya perluasan kawasan perumahan Bogor Nirwana Residence (BNR) di atas
lahan yang masih produktif tadi. Berdasarkan hal tersebut, maka lokasi
ini dirasakan relevan dengan tujuan penelitian. Penelitian ini akan
dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu dimulai dari bulan Mei-Juni 2009.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Unit
analisis dari penelitian ini adalah rumah tangga petani Kelurahan
Mulyaharja. Jumlah responden yang akan diambil adalah sebanyak 30 orang.
Pemilihan responden dilakukan dengan menggunakan teknik Stratified random sampling. Sedangkan untuk pemilihan informan dilakukan dengan menggunakan teknik Snowball sampling (bola salju).
3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data kuantitatif yang telah terkumpul dari kuesioner kemudian diolah dengan menggunakan program SPSS.
Uji statistic yang digunakan adalah tabulasi silang dan uji statistic
chi-square. Hal ini ditujukan untuk melihat adanya hubungan antara
variable-variabel dengan skala minimal nominal. Sedangkan untuk analisis
data kualitatif hanya terbatas pada teknik pengolahan data seperti
membaca grafik, table, dll yang kemudian dianalisis secara kualitatif.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Rizky Ali. 2008. Proses Pembebasan Tanah Pertanian Untuk Pembangunan
Kawasan Perumahan. [Skripsi] Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Furi, D.R. 2007. Implikasi Konversi Lahan Terhadap Aksesibilitas Lahan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa. [Skripsi] Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Kurniawati, Yoyoh. 2005. Analisis
Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian ke Non Pertanian dan Pengaruhnya
Terhadap Daya Dukung Lahan di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung. [Tesis] Sekolah Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Munir, Misbahul. 2008. Hubungan Antara Konversi Lahan Pertanian dengan Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Petani. [Skripsi] Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Pasandaran, Effendi. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah Beririgasi di Indonesia dalam Jurnal Litbang Pertanian 25(4) 2006.
Putri, Rubyani.I. 2008. Konversi Lahan dan Dampak yang Ditimbulkan Terhadap Tata Guna Lahan Perkotaan. [Skripsi] Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sihaloho, Martua. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. [Tesis] Sekolah Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Singarimbun, M dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.
Sitorus, MT. F. 2002: Lingkup Agraria dalam Menuju Keadilan Agraria :70 Tahun
Gunawan Wiradi, Penyunting Endang, Suhendar et al. Yayasan AKATIGA, Bandung.
Supriyadi, Anton. 2004. Kebijakan Alih Fungsi Lahan dan Proses Konversi Lahan
Pertanian. [Skripsi] Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Utomo, M., Eddy Rifai dan Abdulmutalib Thahir. 1992. Pembangunan dan Alih Fungsi Lahan. Lampung: Universitas Lampung.
Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir.
Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset.
0 komentar:
Posting Komentar