Right Here Waiting – Richard Marx Lyrics & Listen

Right Here Waiting – Richard Marx Lyrics & Listen

Perubahan lahan ke perumahan


Perubahan lahan ke perumahan
1
.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar. Jumlah penduduk ini terus bertambah setiap tahunnya. Sebagai gambaran, tingkat kepadatan penduduk Indonesia pada tahun 2000 adalah 108 jiwa per kilometer persegi, jumlah ini meningkat jadi 116 orang per kilometer persegi pada tahun 2005 (Data BPS, 2005)[1]
Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat, serta aktivitas pembangunan dalam berbagai bidang tentu saja akan menyebabkan ikut meningkatnya permintaan akan lahan. Permintaan akan lahan tersebut terus bertambah, sedangkan kita tahu bahwa lahan yang tersedia jumlahnya terbatas. Hal inilah yang mendorong terjadinya konversi lahan pertanian ke non-pertanian.
Konversi lahan dapat diartikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri (Utomo dkk, 1992).
Konversi lahan merupakan konsekuensi logis dari peningkatan aktivitas dan jumlah penduduk serta proses pembangunan lainnya. Konversi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun pada kenyataannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan pertanian yang masih produktif.
Lahan pertanian dapat memberikan manfaat baik dari segi ekonomi, sosial maupun lingkungan. Oleh karena itu, semakin sempitnya lahan pertanian akibat konversi akan mempengaruhi segi ekonomi, sosial dan lingkungan tersebut. Jika fenomena konversi lahan pertanian ke non-pertanian terus terjadi secara tak terkendali, maka hal ini akan menjadi ancaman tidak hanya bagi petani dan lingkungan, tetapi hal ini bisa menjadi masalah nasional.
Kelurahan Mulyaharja yang terletak di Kecamatan Bogor Selatan merupakan wilayah yang masih memiliki banyak lahan pertanian yang produktif. Pemandangan pertama yang terlihat saat memasuki wilayah Mulyaharja adalah puluhan petak sawah yang terhampar luas di samping kiri dan kanan. Belakangan ini luasan lahan pertanian di Kelurahan Mulyaharja semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh semakin maraknya fenomena konversi lahan di wilayah tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis mengenai dampak yang ditimbulkan dari adanya konversi lahan pertanian bagi taraf hidup petani.
1.2 Perumusan Masalah
Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini antara lain adalah:
1. Bagaimana kondisi taraf hidup petani sebelum terjadinya konversi lahan?
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengkonversi lahannya?
3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari adanya konversi lahan bagi taraf hidup petani?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui kondisi taraf hidup petani sebelum terjadinya konversi lahan.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengkonversi lahannya.
3. Menganalisis dampak yang ditimbulkan dari adanya konversi lahan bagi taraf hidup petani.
1.4 Kegunaan Penelitian
Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam mengaplikasikan ilmu yang didapat selama masa perkuliahan. Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi dalam penelitian berikutnya.
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Konsep Agraria
Pengertian agraria menurut UUPA 1960 (UU No.5 Tahun 1960) dalam Sitorus (2002) adalah seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
Sitorus (2002) menyatakan bahwa jenis-jenis sumber agraria meliputi:
1. Tanah atau permukaan bumi, yang merupakan modal alami utama dari pertanian dan peternakan.
2. Perairan, yang merupakan modal alami dalam kegiatan perikanan.
3. Hutan, merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas perhutanan.
4. Bahan tambang, yang terkandung di “tubuh bumi”
5. Udara, yang termasuk juga materi “udara” sendiri.
Sitorus (2002) mengemukakan bahwa konsep agraria merujuk pada berbagai hubungan antara manusia dengan sumber-sumber agraria serta hubungan antar manusia dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Sitorus (2002) juga mengemukakan bahwa subjek agraria dapat dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas, pemerintah dan swasta. Masing-masing subjek agraria tersebut memiliki hubungan yang dapat dilihat melalui gambar berikut:
i34052087-a1
2.1.2 Konsep dan Definisi Lahan
Tanah atau lahan merupakan salah satu sumber daya yang penting dalam kehidupan manusia karena setiap aktivitas manusia selalu terkait dengan tanah. Tanah merupakan tanah (sekumpulan tubuh alamiah, mempunyai kedalaman lebar yang ciri-cirinya mungkin secara langsung berkaitan dengan vegetasi dan pertanian sekarang) ditambah ciri-ciri fisik lain seperti penyediaan air dan tumbuhan penutup yang dijumpai (Soepardi, 1983 dalam Akbar, 2008).
Utomo (1992) menyatakan bahwa lahan sebagai modal alami yang melandasi kegiatan kehidupan dan penghidupan, memiliki dua fungsi dasar, yakni:
1. Fungsi kegiatan budaya; suatu kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, seperti pemukiman, baik sebagai kawasan perkotaan maupun pedesaan, perkebunan hutan produksi dan lain-lain.
2. Fungsi lindung; kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada, yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya.
Sihaloho (2004) membedakan penggunaan tanah ke dalam tiga kategori, yaitu:
1. Masyarakat yang memiliki tanah luas dan menggarapkan tanahnya kepada orang lain; pemilik tanah menerapkan sistem sewa atau bagi hasil.
2. Pemilik tanah sempit yang melakukan pekerjaan usaha tani dengan tenaga kerja keluarga, sehingga tidak memanfaatkan tenaga kerja buruh tani.
3. Pemilik tanah yang melakukan usaha tani sendiri tetapi banyak memanfaatkan tenaga kerja buruh tani, baik petani bertanah sempit maupun bertanah luas.
2.1.3 Konversi Lahan
Utomo dkk (1992) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Sihaloho (2004) membagi konversi lahan kedalam tujuh pola atau tipologi, antara lain:
1. Konversi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi.
2. Konversi sistematik berpola ‘enclave’; dikarenakan lahan kurang produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah.
3. Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal.
4. Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan.
5. Konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung.
6. Konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian.
7. Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk; konversi dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam konversi demografi.
Sumaryanto (1994) dalam Furi (2007) memaparkan bahwa jika suatu lokasi terjadi konversi lahan pertanian, segera lahan-lahan di sekitarnya akan terkonversi dan sifatnya cenderung progresif.
Irawan (2005) dalam Akbar (2008) mengemukakan bahwa konversi tanah lebih besar terjadi pada tanah sawah dibandingkan dengan tanah kering karena dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pertama, pembangunan kegiatan non pertanian seperti kompleks perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering. Kedua, akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering. Ketiga, daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan.
Konversi lahan biasanya terkait dengan proses perkembangan wilayah, bahkan dapat dikatakan bahwa konversi lahan merupakan konsekuensi dari perkembangan wilayah. Sebagian besar konversi lahan yang terjadi, menunjukkan adanya ketimpangan dalam penguasaan lahan yang lebih didominasi oleh pihak kapitalis dengan mengantongi izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Di Indonesia, terdapat tiga macam ketimpangan (Cristo-doulou sebagaimana dikutip Wiradi, 2000), yakni:
1. Ketimpangan dalam hal struktur “pemilikan” dan “penguasaan” tanah
Kepentingan/keberpihakan Pemerintah. Peran pemerintah mendominasi dalam menentukan kebijakan peruntukan penggunaan lahan dan mendukung pihak bermodal dan penguasaan lahan, sedangkan peran masyarakat rendah.
2. Ketimpangan dalam hal peruntukan tanah
Terdapatnya indikasi kesenjangan, yakni tanah yang seharusnya diperuntukan bagi pertanian rakyat digusur, sedangkan sektor non pertanian semakin bertambah luas.
3. Ketimpangan atau Incompability dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria
Terjadi perbedaan persepsi dan konsepsi mengenai bermacam hak atas tanah, yakni pemeritah dan pihak swasta yang menggunakan hukum positif dengan penduduk yang berpegang pada hokum normatif/hukum adat.
2.1.4 Faktor Penyebab
Proses terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian disebabkan oleh beberapa faktor. Kustiwan (1997) dalam Supriyadi (2004) menyatakan bahwa setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:
1. Faktor Eksternal. Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan (fisik maupun spasial), demografi maupun ekonomi.
2. Faktor Internal. Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.
3. Faktor Kebijakan. Yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian.
Pasandaran (2006) menjelaskan paling tidak ada tiga faktor, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang merupakan determinan konversi lahan sawah, yaitu:
1. Kelangkaan sumberdaya lahan dan air
2. Dinamika pembangunan
3. Peningkatan jumlah penduduk
Pakpahan, et.al (1993) dalam Munir (2008) membagi faktor yang mempengaruhi konversi dalam kaitannya dengan petani, yakni faktor tidak langsung dan faktor langsung. Faktor tidak langsung antara lain perubahan struktur ekonomi, petumbuhan penduduk, arus urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tata ruang. Sedangkan faktor langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan sawah.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani, sebagaimana dikemukakan oleh Rusastra (1994) dalam Munir (2008) adalah sebagai pilihan alokasi sumber daya melalui transaksi yang dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi petani seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan kemampuan ekonomi secara keseluruhan serta pajak tanah, harga tanah dan lokasi tanah. Sehingga diperlukan kontrol agar sesuai dengan Rencana Tata Ruang.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Munir (2008) di Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah, dapat diketahui bahwa ada faktor-faktor yang berhubungan dengan konversi lahan. Faktor- faktor tersebut meliputi faktor internal petani dan faktor eksternal. Faktor internal adalah karakteristik petani yang mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan yang dimiliki, dan tingkat ketergantungan terhadap lahan. Sedangkan faktor eksternal mencakup pengaruh tetangga, investor, dan kebijakan pemerintah daerah dalam hal pengembangan pertanian.
2.1.5 Konsep Petani
Wolf (1985) dalam munir (2008) mendefinisikan petani sebagai pencocok tanam pedesaan yang surplus produksinya dipindahkan ke kelompok penguasa melalui mekanisme sistematis seperti upeti, pajak, atau pasar bebas. Bahari (2002) dalam Munir (2008) menyatakan bahwa secara umum ada tiga ciri utama yang melekat pada petani pedesaan, yaitu kepemilikan lahan secara de facto, subordinasi legal, dan kekhususan kultural.
Menurut Shanin (1971) seperti yang dikutip oleh Subali (2005),[2] terdapat empat karakteristik utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga. Kedua, selaku petani mereka menggantungkan hidup mereka kepada lahan. Bagi petani, lahan pertanian adalah segalanya yakni sebagai sumber yang diandalkan untuk menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang bernilai tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga, petani memiliki budaya yang spesifik yang menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas serta solidaritas sosial mereka kental. Keempat, cenderung sebagai pihak selalu kalah (tertindas) namun tidak mudah ditaklukkan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal yang mendominasi mereka.
2.1.6 Taraf Hidup dan Kesejahteraan
Kata “taraf” dalam kamus besar bahasa Indonesia (1997) berarti mutu atau kualitas. Jadi taraf hidup dapat diartikan sebagai suatu mutu hidup atau kualitas hidup yang dimiliki oleh seseorang atau suatu masyarakat.
Sawidack (1985) dalam Munir (2008) menyatakan bahwa kesejahteraan merupakan kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut.
BPS (2008) dalam Munir (2008) memberikan gambaran tentang cara yang lebih baik untuk mengukur kesejahteraan dalam sebuah rumah tangga mengingat sulitnya memperoleh data yang akurat. Cara yang dimaksud adalah dengan menghitung pola konsumsi rumah tangga.
Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan dibahas oleh BPS (1995) dalam Munir (2008) antara lain adalah: kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, sosial dan budaya
Kesejahteraan pedesaan menurut Mosher (1974) dalam Furi (2007) berarti tingkat kepuasaan bagi penduduk pedesaan dan tidak mencakup sumbangan-sumbangan yang menyenangkan bagi masyarakat pedesaan dari pihak luar, baik pemerintah maupun swasta. Empat aspek kesejaheraan pedesaan yakni:
1. Tingkat kehidupan fisik keluarga pedesaan, yang sangat bergantung pada penghasilan keluarga dan berarti bergantung pada perkembangan pertanian.
2. Kesejahteraan dan kegiatan-kegiatan bersama di desa, yaitu ketentraman dan kegiatan kelompok yang meliputi hukum dan ketertiban, pendidikan, kesehatan, dan kegiatan kelompok informal.
3. Kesempatan untuk ikut serta mengambil bagian dalam peristiwa-peristiwa kekeluargaan dan kemasyarakatan.
4. Perarturan-perarturan dan Undang-Undang yang mengurus tentang hak-hak manusia atas penggunaan tanah.
Yosep (1996) dalam Furi (2007) mengemukakan dua pendekatan kesejahteraan, yakni:
1. Pendekatan makro, kesejahteraan dengan indikator-indikator yang telah disepakati secara alamiah, sehingga ukuran kesehateraan masyarakat berdasarkan data-data epiris suatu masyarakat.
2. Pendekatan mikro, didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan psikologi individu secara pribadi untuk melihat apa yang dianggapnya sejahtera.
2.2 Kerangka Pemikiran

i34054041
Tanah merupakan sumberdaya strategis yang memiliki nilai secara ekonomis. Saat ini, jumlah luasan tanah pertanian tiap tahunnya terus mengalami pengurangan. Berkurangnya jumlah lahan pertanian ini merupakan akibat dari adanya peningkatan jumlah dan aktivitas penduduk serta aktivitas pembangunan. Hal tersebut mengakibatkan permintaan akan lahan pun meningkat. Pada akhirnya, terjadilah konversi lahan pertanian ke non pertanian seperti perumahan, industri, dan lain sebagainya untuk memenuhi permintaan yang ada. Konversi lahan yang terjadi tidak lepas dari kepentingan berbagai pihak seperti pemerintah, swasta dan komunitas (masyarakat).
Merujuk pada penelitian-penelitian terdahulu, maka dalam penelitian ini diduga bahwa ada faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam mengkonversi lahan pertaniannya. Faktor-faktor tersebut adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi tingkat pendapatan rumah tangga petani, jumlah tanggungan anggota keluarga, tingkat ketergantungan pada tanah, luas lahan yang dimiliki, umur petani, tingkat pendidikan. Sedangkan faktor eksternal dapat meliputi kebijakan pemerintah, pengaruh pihak swasta (investor), serta jumlah rumah tangga petani yang mengkonversi lahan pertanian di daerah tersebut.
Setelah melihat keterkaitan antara kedua faktor tersebut dengan keputusan petani untuk mengkonversi lahan, maka akan dilihat pula pengaruh konversi lahan pertanian bagi taraf hidup petani. Diduga bahwa konversi lahan memiliki hubungan dengan taraf hidup petani. Dalam hal ini taraf hidup akan diukur melalui indikator yang meliputi pendapatan, perumahan, pendidikan, kesehatan, kepemilikan aset.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis Umum
1. Diduga bahwa ada hubungan antara faktor internal dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.
2. Diduga ada hubungan antara faktor eksternal dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.
3. Diduga bahwa Konversi lahan pertanian akan berpengaruh terhadap taraf hidup petani
Hipotesis Khusus
1. Diduga ada hubungan antara tingkat pendapatan rumah tangga petani dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.
2. Diduga ada hubungan antara jumlah tanggungan anggota keluarga petani dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.
3. Diduga ada hubungan antara tingkat ketergantungan terhadap lahan dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.
4. Diduga ada hubungan antara luas lahan dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.
5. Diduga ada hubungan antara usia petani dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.
6. Diduga ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.
7. Diduga ada hubungan antara jumlah tetangga yang mengkonversi lahan dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.
8. Diduga ada hubungan antara pengaruh swasta dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.
9. Diduga ada hubungan antara kebijakan pemerintah dengan keputusan petani dalam mengkonversi lahan.
10. Diduga konversi lahan akan mempengaruhi pendapatan rumah tangga yang merupakan salah satu indikator taraf hidup.
11. Diduga konversi lahan akan mempengaruhi pendidikan rumah tangga yang merupakan salah satu indikator taraf hidup.
12. Diduga konversi lahan akan mempengaruhi perumahan (tempat tinggal) yang merupakan salah satu indikator taraf hidup.
13. Diduga konversi lahan akan mempengaruhi kesehatan keluarga yang merupakan salah satu indikator taraf hidup.
14. Diduga konversi lahan akan mempengaruhi kepemilikan aset yang merupakan salah satu indikator taraf hidup.
Definisi Operasional
1. Tingkat pendapatan rumah tangga adalah total pendapatan rata-rata responden yang diperoleh selama satu bulan.
Pengukuran:
1. Tinggi: > Rp. 2.000.000
2. Sedang: Rp 1000.000-Rp 2.000.000
3. Rendah: < Rp 1000.000
2. Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya angoota keluarga yang sampai saat ini masih menjadi tanggungan responden dalam pemenuhan kebutuhan hidup.
Pengukuran:
1. Sedikit: ≤ 4 orang
2. Banyak: > 4 orang
3. Tingkat ketergantungan pada lahan adalah sejauh mana lahan dianggap penting dalam memenuhi kebutuhan responden yang diukur berdasarkan persentase pendapatan pertanian dari keseluruhan total pendapatan rumah tangga responden.
Pengukuran:
1. Rendah: <0, 75 persen pendapatan tumah tangga
2. Tinggi: ≥0,75 persen pendapatan rumah tangga
4. Luas lahan yang dimiliki adalah ukuran lahan yang dimiliki oleh responden dalam satuan hektar.
Pengukuran:
1. Sempit : <0,25 hektar
2. Sedang : 0,25-0,49 hektar
3. Luas : ≥0,5 hektar
5. Usia adalah rentang waktu dari lahir hingga sekarang yang dimiliki oleh responden (dinyatakan dalam tahun).
Pengukuran:
1. 30-40 tahun
2. 41-50 tahun
3. > 50 tahun
6. Tingkat pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang pernah dijalani oleh responden.
Pengukuran:
1. Tidak sekolah
2. Tamat SD/sederajat
3. Tamat SMP/sederajat
4. Tamat SMA/sederajat
7. Jumlah rumah tangga petani yang mengkonversi lahan adalah banyaknya petani di sekitar wilayah tempat tinggal responden yang ikut mengkonversi lahan pertaniannya.
Pengukuran:
1. Rendah: ≤ 5 orang
2. Tinggi: > 5 orang
8. Pengaruh swasta (investor) adalah pengaruh yang diberikan oleh pihak yang berkepentingan dengan lahan tersebut untuk mempengaruhi petani agar mau mengkonversi lahan pertaniannya.
Pengukuran:
1. Ada pengaruh: pihak swasta mendatangi responden untuk membujuk agar mau menjual lahannya (melakukan negosiasi).
2. Tidak ada pengaruh: tidak ada pihak swasta yang mendatangi responden.
9. Kebijakan pemerintah adalah ada atau tidaknya dukungan pemerintah daerah setempat untuk mempertahankan lahan pertaniannya.
Pengukuran:
1. Ada dukungan: pemerintah memberikan bantuan pada responden dalam upaya pengembangan pertanian.
2. Tidak ada dukungan: pemerintah tidak memberikan bantuan kepada responden dalam upaya pengembangan pertanian.
10. Taraf hidup adalah mutu hidup yang dimiliki oleh seseorang atau suatu masyarakat.
11. Kondisi perumahan (tempat tinggal) adalah keadaan fisik rumah yang ditempati oleh responden.
Pengukuran:
1. Layak : luas bangunan memadai dan fisik bangunan permanen
2. Tidak layak : luas bangunan tidak memadai dan fisik rumah tidak permanen
12. Pendidikan keluarga adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak.
Pengukuran:
1. Rendah: tidak bersekolah
2. Sedang : SMP
3. Tinggi : ≥ SMA
13. Kesehatan adalah kondisi/ keadaan jasmani rumah tangga responden.
Pengukuran:
1.Tinggi : kondisi kesehatan baik, tidak banyak menderita penyakit.
2. Rendah : kondisi kesehatan buruk, banyak menderita penyakit.
15. Kepemilikan aset adalah jumlah barang berharga yang dimiliki rumah tangga petani
Pengukuran:
1. Tinggi : memiliki rumah, tanah, kendaraan, dan lebih dari lima jenis barang elektronik.
2. Sedang: memiliki rumah, kendaraan, dan barang elektronik sejumlah lima
3. Rendah: memiliki rumah/sewa/kontrak dan memiliki kurang dari lima jenis barang elektronik.
BAB III
PENDEKATAN LAPANGAN
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Dalam pendekatan kuantitatif, penelitian ini menggunakan metode penelitian survei. Metode penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sample dari satu populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok (Singarimbun, 1989). Sedangkan pendekatan kualitatif dilakukan dengan metode studi kasus.
Data-data kuantitatif diperoleh dari hasil kuesioner sebagai instrument utama. Sedangkan data kualitatif diperoleh dari observasi lapang secara langsung dan wawancara mendalam. Wawancara mendalam dilakukan kepada informan untuk mendapatkan informasi lebih banyak. Informan yang akan diwawancarai adalah pihak-pihak yang dianggap mengetahui keadaan sekeliling seperti aparat desa, tokoh masyarakat dan masyarakat setempat. Dalam melakukan wawancara mendalam, peneliti dibekali dengan panduan pertanyaan.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengisian kuesioner dan hasil wawancara mendalam. Sedangkan data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen kantor Kelurahan Mulyaharja. Sumber pustaka lain yang dijadikan data sekunder dalam penelitian ini adalah berupa buku, artikel dari internet, skripsi, thesis, serta makalah yang berkaitan dengan topik penelitian.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kabupaten Bogor. Kelurahan Mulyaharja merupakan daerah yang masih banyak memiliki lahan pertanian (sawah). Lahan pertanian yang ada di Kelurahan Mulyaharja ini merupakan lahan pertanian yang masih produktif. wilayah ini kemudian mengalami konversi lahan akibat adanya perluasan kawasan perumahan Bogor Nirwana Residence (BNR) di atas lahan yang masih produktif tadi. Berdasarkan hal tersebut, maka lokasi ini dirasakan relevan dengan tujuan penelitian. Penelitian ini akan dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu dimulai dari bulan Mei-Juni 2009.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Unit analisis dari penelitian ini adalah rumah tangga petani Kelurahan Mulyaharja. Jumlah responden yang akan diambil adalah sebanyak 30 orang. Pemilihan responden dilakukan dengan menggunakan teknik Stratified random sampling. Sedangkan untuk pemilihan informan dilakukan dengan menggunakan teknik Snowball sampling (bola salju).
3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data kuantitatif yang telah terkumpul dari kuesioner kemudian diolah dengan menggunakan program SPSS. Uji statistic yang digunakan adalah tabulasi silang dan uji statistic chi-square. Hal ini ditujukan untuk melihat adanya hubungan antara variable-variabel dengan skala minimal nominal. Sedangkan untuk analisis data kualitatif hanya terbatas pada teknik pengolahan data seperti membaca grafik, table, dll yang kemudian dianalisis secara kualitatif.
DAFTAR PUSTAKA
2008. Komunitas Petani. http://mahmudisiwi.net/komunitas-petani. [diakses tanggal 25 Maret 2009].
Akbar, Rizky Ali. 2008. Proses Pembebasan Tanah Pertanian Untuk Pembangunan
Kawasan Perumahan. [Skripsi] Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Furi, D.R. 2007. Implikasi Konversi Lahan Terhadap Aksesibilitas Lahan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa. [Skripsi] Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Kurniawati, Yoyoh. 2005. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian ke Non Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Daya Dukung Lahan di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung. [Tesis] Sekolah Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Munir, Misbahul. 2008. Hubungan Antara Konversi Lahan Pertanian dengan Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Petani. [Skripsi] Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Pasandaran, Effendi. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah Beririgasi di Indonesia dalam Jurnal Litbang Pertanian 25(4) 2006.
Putri, Rubyani.I. 2008. Konversi Lahan dan Dampak yang Ditimbulkan Terhadap Tata Guna Lahan Perkotaan. [Skripsi] Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sihaloho, Martua. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. [Tesis] Sekolah Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Singarimbun, M dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.
Sitorus, MT. F. 2002: Lingkup Agraria dalam Menuju Keadilan Agraria :70 Tahun
Gunawan Wiradi, Penyunting Endang, Suhendar et al. Yayasan AKATIGA, Bandung.
Supriyadi, Anton. 2004. Kebijakan Alih Fungsi Lahan dan Proses Konversi Lahan
Pertanian. [Skripsi] Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Utomo, M., Eddy Rifai dan Abdulmutalib Thahir. 1992. Pembangunan dan Alih Fungsi Lahan. Lampung: Universitas Lampung.
Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir.
Yogyakarta: Pustaka Belajar Offset.